Pelanggaran HAM di Indonesia
DUGAAN PELANGGARAN HAM PADA PEMBANGUNAN GEREJA
Kasus
penggagalan pembangunan gereja yang berada di Bekasi Awalnya gereja filadelfia
dibangun untuk sekitar 200 jemaat umat kristiani yang dibutuhkan untuk menyediakan
tempat ibadah yang berdekatan dengan lokasi rumah para jemaat umat kristiani.
Pembangunan gereja tersebut mengalami kendala terkait penolakan melanjutkan pembangunan
ibadah oleh para warga dan didukung sejumlah anggota organisasi masyarakat
(ormas).
Pembangunan
gereja Filadelfia yang berada di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara,
Kabupaten Beka, Bekasi mengalami permasalahan izin yang dituntut oleh warga
sekitar daerah tersebut. Izin yang dimiliki untuk membangun gereja tersebut
tidak lengkap dengan persetujuan warga sekitar. pada dasarnya ijin yang
seharusnya dikantongi oleh pihak pendiri filadelfia adalah persetujuan dari 250
anggota warga sekitar dan akan menghadirkannya sebagai saksi akan tetapi
menurut fakta hukum yang terjadi sekitar 215 suara warga tidak sependapat dan
menarik dukunannya. Hal ini tentu saja membuat warga sekitar marah karena
mereka menganggap tidak pernah ikut mendukung pembangunan proyek izin pendirian
Gereja Filadelfia.
Kejadian
tidak berhenti pada hal tersebut saja, berdasarkan informasi yang didapatkan
dari penulis melalui berita – berita yang ada kasus Gereja Filadelfia memicu
suatu konflik. Awalnya di tahun 2009 terjadi pencekalan terhadap umat
kristiani protestan yang akan mengadakan misa natal di gereja tersebut, namun
saat perjalanan jemaat dihadang oleh beberapa warga hingga akhirnya mereka
saling berdiskusi dan konflik pun tidak berujung pada suatu kekerasan. Kasus yang
sudah muncul terkait kasus Gereja Filadlfia sangat mengkhawatirkan bahkan
akhirnya pemimpin dari jemaat Gereja Filadeldia yaitu Palti Panjaitan diancam
akan dibunuh oleh lisan dari massa intolerin, hal ini dikemukakan oleh tim
Thomas Tampubolon, Ketua Tim Advokasi HKBP Filadelfia pada 24 mei 2012.
Fakta
– fakta yang dikemukakan diatas merupakan suatu konflik antara umat beragam
terkait pembanguan suatu ibadah merupakan hal yang harus segera diselesaikan,
untuk itu perlu mengkaji lebih dalam penggunaan hukum yang terkait kasus
tersebut. Mengingat bahwa hal ini telah memicu pendapat dari masyarakat
nasioanal maupun internasional maka harapannya sangat penting untuk menemukan
solusi terbaik dari kasus tersebut. Konflik yang berkepanjangan ini sudah
menjadi tugas aparatur, pemuka agama dari masing – masing agama, dan masyarakat
daerah tersebut untuk menjadikan konflik ini berhenti dan terselesaikan.
Melihat
kasus yang terdapat pada Gereja Filadelfia, perlu untuk menganalisis lebih
lanjut dari segi normatif secara hukum internasional maupun secara hukum
internasional. Keduanya dapat dikaitkan guna menemukan suatu pemecahan masalah
– masalah hukum yang terjadi. Penulis melihat adanya suatu sumber hukum yang
harus ditempuh dalam pemecahan masalah pembangunan gereja Filadelfia. Hal
yang perlu diketahui terkait hukum internasional, penulis menggunakan kovenan
sosial dan politik, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Secara
hukum internasional kebebasan beragama diakui dengan adanya pasal – pasal DUHAM.
Pertama Pasal 2, “Setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa
pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan
sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya”. Selanjutnya, pembedaan tidak
dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status internasional
negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara merdeka,
wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada
di bawah batas kedaulatan lainnya. Kedua, Pasal 18 Setiap
orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini
mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan,
pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di
muka umum maupun secara pribadi.
Selanjutnya
bedasarkan pasal 2 dan pasal 18 DUHAM penulis mencoba menganalisis sebagai
berikut. Pertama, pasal 2 DUHAM menjamin semua kebebasan seseoarang secara
universal tanpa memandang keyakinan agamanya atau dengan kata lain pasal
tersebut menjamin kebebasan tanpa adanya suatu diskriminasi. Hal selanjutnya
penting memahami bahwa pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar
status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana
seseorang berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa
pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan
lainnya. Oleh karena itu kebebasan atas semua hak atau
suatu hak asasi manusia diakuai oleh DUHAM ini, akan tetapi penting untuk
mengetahui apakah pasal lain mengakui adanya hak asasi kebebasan beragama.
Menganalisis
lebih lanjut terkait pasal 2 DUHAM penting untuk menganalisis pula pasal 18
DUHAM yang isinya mengungkapkan bahwa setiap orang secara universal diakui
status untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keinginannya.
Kemudian pada pasal 2 DUHAM telah dijelaskan bahwa deklarasi tersebut mengakui
bahwa status hak asasi manusia harus lebih diutamakan dari pada kepentingan
lainnya tanpa membedakan agama, politik, bahasa, dan keyakinan. Dengan demikian
seharusnya menurut kedua pasal DUHAM tersebut secara internasional seharusnya
pembangunan gereja Filadelfia bisa terus dilanjutkan, meski pun terdapat pihak
agama lain tidak setuju.
Kemudian
pada kasus gereja filadelfia tersebut tidak hanya bisa dianalisis dengan dasar
hukum secara internasional melainkan harus menggunakan dasar hukum nasional.
Dasar hukum nasional yang dimaksudkan pada analisis ini adalah mengarah pada
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 dan undang –
undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Kedua undang – undang
tersebut sangat penting dalam berperan menangani kasus pendirian gereja
Filadelfia, sehingga nantinya dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat telah sesuai dengan aturan normatif.
Membahas
lebih lanjut mengenai peraturan nasional yang berkaitan dengan kasus tersebut,
pertama adalah UUD NRI 1945 pasal 28 E berbunyi, “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”.. Pasal
tersebut mencerminkan adanya suatu jaminan mengenai hak seseorang untuk memeluk
agamanya akan tetapi melihat kasus dalam tugas ini tidak cukup hanya melihat
pasal tersebut melainkan dapat menggunakan pasal Pasal 29 yang
berbunyi;
(1) Negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa adanya tugas negara untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat untuk beribadah sesuai keyakinannya.
Pasal
29 UUD NRI 1945 menunjukkan adanya suatu sinkronisasi antara pasal 28 E UUD NRI
1945, sehingga terkait kasus pendirian gereja Filadelfia secara konstusi hak
asasi manusia yang dimilikii oleh sekelompok umat kristiani sangat
dilindungi oleh undang – undang ini dan bagi pihak yang melanggar konstitusi
tersebut dapat dikenakan sanksi. Perlindungan hukum yang diberikan kedua pasal
tersebut ternyata apabila dicermati menuntut dipenuhi oleh negara dan dihormati
oleh warga negara di Indonesia. Kemudian melihat dari kasus diatas dapat
diungkapkan bahwa ada kesamaan dengan pasal dalam UUD NRI 1945 dengan pasal
di DUHAM dan Kovenan sipol yang diakui secara internasional, sehingga dengan
adanya kesamaaan ini membuktikan pasal dalam UUD NRI tersebut diakui secara
internasional akan suatu hakekat kebenarannya. Dengan demikian wajar saja
apabila umat aga kristiani internasional ikut berperan dalam menangani kasus
Gereja Fiadelfia, bahkan dari fakta yang ditemukan penulis melalui berita
internet warga palestina ikut mengkritik terkait penanganan kasus tersebut.
Selanjutnya
didalam undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
dijelaskan mengenai hal – hal yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi
manusia. Pertama, untuk mengetahui apakah kasus gereja Filadelfiah terdapat
unsur pelanggaran hak asasi manusia lebih baik mengetahui terlebih dahulu apa
yang dimaksudkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia didalam undang – undang
tersebut. Kedua, kasus gereja Filadelfia tersebut memiliki unsur diskriminasi.
Ketiga, dalam undang – undang no 39 tahun 1999 apakah terdapat penjelasan lebih
lanjut mengenai kebebasan beragama.
Mengenai
pengertian pelanggaran hak asasi manusia terdapat dalam pasal 1 ayat 6 undang –
undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yaitu “pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang
ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.”
Kemudian
mengenai pengertian diskriminasi dapat dilihat dalam pasal 1 ayat 4 undang –
undang nomor 39 tahun 1999 yang menyebutkan “Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.
yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi. hukum,
sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.”
Terakhir mengenai
penjelasan kebebasan dan penjaminan agama di Indonesia terkait undan – undang
nomor 39 tahun 1999 menjelaskan bahwa dalam Pasal 22 berisi ;
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menganalisis
ketiga pasal dari undang – undang nomor 39 tahun 1999 terdapat tiga hal yang
harus diperhatikan bahwa terkait informasi yang didapatkan penulis yaitu
pembangunan pendirian gereja filadelfia tersebut tidak memenuhi syarat
administratif untuk pendirian bangunan. Awalnya Bupati Bekasi telah
mengeluarkan Surat Keputusan di tahun 2009 yang nti dari surat keputusan
tersebut dimaksudkan untuk menghentikan pembangunan. Informasi yang didapatkan
penulis tidak hanya sampai situ saja akan tetapi menurut hasil wawancara dengan
ketua forum islam di daerah bekasi ia mengungkapkan alasan tidak menyetujui
pembangunan gereja filadelfia karena akan membuat resah masyarakat sekitar.
Kedua
informasi tersebut mengungkapkan bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia
yang dilakukan oleh organisasi masyarakat, warga sekitar, dan Bupati tersebut apabila
melihat norma yang terkandung dalam undang – undang nomor 39 tahun 1999.
Kemudian secara internasional pasal dalam DUHAM juga tidak sesuai dengan
tindakan yang dilakukan oleh pihak – pihak tersebut begitu juga kovenan sipol
yang pada prinsipnya isinya menjamin kebebasan beragama. Hal yang penting
adalah bagaimana cara penyelesaian konflik pembangunan gereja filadelfia, yaitu
pertama pembangunan tersebut dilanjutkan atau cara yang kedua adalah perubahan
terhadap isi dari ketentuan undang – undang 39 tahun 1999 tentang HAM. Akan
tetapi menurut penulis seharusnya pembangunan gereja tersebut harus segera
dilanjutkan tanpa melihat terlebih dahulu izin kepada warga apabila kita
memandangnya dari segi hak asasi manusia, akan tetapi apabila kita melihat hukum
di Indonesia maka harus ikut dalam hukum administrasi dalam melaksanakan
pembangunan gereja.
Referensi :
http://dikajaya.wordpress.com