Kamis, 07 November 2013

Pelanggaran HAM di Indonesia



Pelanggaran HAM di Indonesia
DUGAAN PELANGGARAN HAM PADA PEMBANGUNAN GEREJA

            Kasus penggagalan pembangunan gereja yang berada di Bekasi Awalnya gereja filadelfia dibangun untuk sekitar 200 jemaat umat kristiani yang dibutuhkan untuk menyediakan tempat ibadah yang berdekatan dengan lokasi rumah para jemaat umat kristiani. Pembangunan gereja tersebut mengalami kendala terkait penolakan melanjutkan pembangunan ibadah oleh para warga dan didukung sejumlah anggota organisasi masyarakat (ormas).
            Pembangunan gereja Filadelfia yang berada di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Beka, Bekasi mengalami permasalahan izin yang dituntut oleh warga sekitar daerah tersebut. Izin yang dimiliki untuk membangun gereja tersebut tidak lengkap dengan persetujuan warga sekitar. pada dasarnya ijin yang seharusnya dikantongi oleh pihak pendiri filadelfia adalah persetujuan dari 250 anggota warga sekitar dan akan menghadirkannya sebagai saksi akan tetapi menurut fakta hukum yang terjadi sekitar 215 suara warga tidak sependapat dan menarik dukunannya. Hal ini tentu saja membuat warga sekitar marah karena mereka menganggap tidak pernah ikut mendukung pembangunan proyek izin pendirian Gereja Filadelfia.
            Kejadian tidak berhenti pada hal tersebut saja, berdasarkan informasi yang didapatkan dari penulis melalui berita – berita yang ada kasus Gereja Filadelfia memicu suatu konflik.  Awalnya di tahun 2009 terjadi pencekalan terhadap umat kristiani protestan yang akan mengadakan misa natal di gereja tersebut, namun saat perjalanan jemaat dihadang oleh beberapa warga hingga akhirnya mereka saling berdiskusi dan konflik pun tidak berujung pada suatu kekerasan. Kasus yang sudah muncul terkait kasus Gereja Filadlfia sangat mengkhawatirkan bahkan akhirnya pemimpin dari jemaat Gereja Filadeldia yaitu Palti Panjaitan diancam akan dibunuh oleh lisan dari massa intolerin, hal ini dikemukakan oleh tim Thomas Tampubolon, Ketua Tim Advokasi HKBP Filadelfia pada 24 mei 2012.
            Fakta – fakta yang dikemukakan diatas merupakan suatu konflik antara umat beragam terkait pembanguan suatu ibadah merupakan hal yang harus segera diselesaikan, untuk itu perlu mengkaji lebih dalam penggunaan hukum yang terkait kasus tersebut. Mengingat bahwa hal ini telah memicu pendapat dari masyarakat nasioanal maupun internasional maka harapannya sangat penting untuk menemukan solusi terbaik dari kasus tersebut. Konflik yang berkepanjangan ini sudah menjadi tugas aparatur, pemuka agama dari masing – masing agama, dan masyarakat daerah tersebut untuk menjadikan konflik ini berhenti dan terselesaikan.
            Melihat kasus yang terdapat pada Gereja Filadelfia, perlu untuk menganalisis lebih lanjut dari segi normatif secara hukum internasional maupun secara hukum internasional. Keduanya dapat dikaitkan guna menemukan suatu pemecahan masalah – masalah hukum yang terjadi. Penulis melihat adanya suatu sumber hukum yang harus ditempuh dalam pemecahan masalah  pembangunan gereja Filadelfia. Hal yang perlu diketahui terkait hukum internasional, penulis menggunakan kovenan sosial dan politik, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
            Secara hukum internasional kebebasan beragama diakui dengan adanya pasal – pasal DUHAM. Pertama  Pasal 2, “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya”. Selanjutnya, pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya. Kedua, Pasal 18 Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.
            Selanjutnya bedasarkan pasal 2 dan pasal 18 DUHAM penulis mencoba menganalisis sebagai berikut. Pertama, pasal 2 DUHAM menjamin semua kebebasan seseoarang secara universal tanpa memandang keyakinan agamanya atau dengan kata lain pasal tersebut menjamin kebebasan tanpa adanya suatu diskriminasi. Hal selanjutnya penting memahami bahwa pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya. Oleh karena itu kebebasan atas semua hak atau suatu hak asasi manusia diakuai oleh DUHAM ini, akan tetapi penting untuk mengetahui apakah pasal lain mengakui adanya hak asasi kebebasan beragama.
            Menganalisis lebih lanjut terkait pasal 2 DUHAM penting untuk menganalisis pula pasal 18 DUHAM yang isinya mengungkapkan bahwa setiap orang secara universal diakui status untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keinginannya. Kemudian pada pasal 2 DUHAM telah dijelaskan bahwa deklarasi tersebut mengakui bahwa status hak asasi manusia harus lebih diutamakan dari pada kepentingan lainnya tanpa membedakan agama, politik, bahasa, dan keyakinan. Dengan demikian seharusnya menurut kedua pasal DUHAM tersebut secara internasional seharusnya pembangunan gereja Filadelfia bisa terus dilanjutkan, meski pun terdapat pihak agama lain tidak setuju.
            Kemudian pada kasus gereja filadelfia tersebut tidak hanya bisa dianalisis dengan dasar hukum secara internasional melainkan harus menggunakan dasar hukum nasional. Dasar hukum nasional yang dimaksudkan pada analisis ini adalah mengarah pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 dan undang – undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Kedua undang – undang tersebut sangat penting dalam berperan menangani kasus pendirian gereja Filadelfia, sehingga nantinya dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat telah sesuai dengan aturan normatif.
            Membahas lebih lanjut mengenai peraturan nasional yang berkaitan dengan kasus tersebut, pertama adalah UUD NRI 1945 pasal 28 E berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”.. Pasal tersebut mencerminkan adanya suatu jaminan mengenai hak seseorang untuk memeluk agamanya akan tetapi melihat kasus dalam tugas ini tidak cukup hanya melihat pasal tersebut melainkan dapat menggunakan pasal Pasal 29 yang berbunyi;
    (1)  Negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa.
    (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya tugas negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk beribadah sesuai keyakinannya.
            Pasal 29 UUD NRI 1945 menunjukkan adanya suatu sinkronisasi antara pasal 28 E UUD NRI 1945, sehingga terkait kasus pendirian gereja Filadelfia secara konstusi hak asasi manusia yang dimilikii oleh sekelompok umat kristiani  sangat dilindungi oleh undang – undang ini dan bagi pihak yang melanggar konstitusi tersebut dapat dikenakan sanksi. Perlindungan hukum yang diberikan kedua pasal tersebut ternyata apabila dicermati menuntut dipenuhi oleh negara dan dihormati oleh warga negara di Indonesia. Kemudian melihat dari kasus diatas dapat diungkapkan bahwa ada kesamaan dengan pasal dalam UUD NRI 1945  dengan pasal di DUHAM dan Kovenan sipol yang diakui secara internasional, sehingga dengan adanya kesamaaan ini membuktikan pasal dalam UUD NRI tersebut diakui secara internasional akan suatu hakekat kebenarannya. Dengan demikian wajar saja apabila umat aga kristiani internasional ikut berperan dalam menangani kasus Gereja Fiadelfia, bahkan dari fakta yang ditemukan penulis melalui berita internet warga palestina ikut mengkritik terkait penanganan kasus tersebut.
            Selanjutnya didalam undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dijelaskan mengenai hal – hal yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Pertama, untuk mengetahui apakah kasus gereja Filadelfiah terdapat unsur pelanggaran hak asasi manusia lebih baik mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksudkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia didalam undang – undang tersebut. Kedua, kasus gereja Filadelfia tersebut memiliki unsur diskriminasi. Ketiga, dalam undang – undang no 39 tahun 1999 apakah terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai kebebasan beragama.
            Mengenai pengertian pelanggaran hak asasi manusia terdapat dalam pasal 1 ayat 6 undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yaitu “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

            Kemudian mengenai pengertian diskriminasi dapat dilihat dalam pasal 1 ayat 4 undang – undang nomor 39 tahun 1999 yang menyebutkan “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.”
Terakhir mengenai penjelasan kebebasan dan penjaminan agama di Indonesia terkait undan – undang nomor 39 tahun 1999 menjelaskan bahwa dalam Pasal 22 berisi ;
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
            Menganalisis ketiga pasal dari undang – undang nomor 39 tahun 1999 terdapat tiga hal yang harus diperhatikan bahwa terkait informasi yang didapatkan penulis yaitu pembangunan pendirian gereja filadelfia tersebut tidak memenuhi syarat administratif untuk pendirian bangunan. Awalnya Bupati Bekasi telah mengeluarkan Surat Keputusan di tahun 2009 yang nti dari surat keputusan tersebut dimaksudkan untuk menghentikan pembangunan. Informasi yang didapatkan penulis tidak hanya sampai situ saja akan tetapi menurut hasil wawancara dengan ketua forum islam di daerah bekasi ia mengungkapkan alasan tidak menyetujui pembangunan gereja filadelfia karena akan membuat resah masyarakat sekitar.
            Kedua informasi tersebut mengungkapkan bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi masyarakat, warga sekitar, dan Bupati tersebut apabila melihat norma yang terkandung dalam undang – undang nomor 39 tahun 1999. Kemudian secara internasional pasal dalam DUHAM juga tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak – pihak tersebut begitu juga kovenan sipol yang pada prinsipnya isinya menjamin kebebasan beragama. Hal yang penting adalah bagaimana cara penyelesaian konflik pembangunan gereja filadelfia, yaitu pertama pembangunan tersebut dilanjutkan atau cara yang kedua adalah perubahan terhadap isi dari ketentuan undang – undang 39 tahun 1999 tentang HAM. Akan tetapi menurut penulis seharusnya pembangunan gereja tersebut harus segera dilanjutkan tanpa melihat terlebih dahulu izin kepada warga apabila kita memandangnya dari segi hak asasi manusia, akan tetapi apabila kita melihat hukum di Indonesia maka harus ikut dalam hukum administrasi dalam melaksanakan pembangunan gereja.

Referensi :
http://dikajaya.wordpress.com